Jumat, 25 April 2014

Sehari Tanpa Internet?! Sama dengan Membuang Uang, Waktu dan Kesempatan

Pertama kali mengenal internet sekitar tahun 2000- an, saat itu internet masih jadi ‘barang mahal’. Untuk bisa mengaksesnya harus ke warnet atau kalau mau gratisan ke perpustakaan jurusan tapi ngantri. Saya mengaksesnya hanya untuk mencari literatur atau jurnal ilmiah untuk tugas akhir (skripsi). Memasuki dunia kerja, bisa agak leluasa menggunakan internet di kantor, selain untuk  email dan urusan pekerjaan juga mulai kenal blog dan friendster. Baru pada tahun 2009, saya benar-benar leluasa mengakses internet karena saat itu saya  menempati rumah baru, memasang telpon rumah plus berlangganan  internet, setelah sebelumnya mendapat promo gratis (plus  modem tentunya) selama 3 bulan.


Suatu hari, modem saya sukses tersambar petir dan harus menunggu beberapa hari untuk bisa kembali normal. Setelah petugas menyatakan modem tidak bisa diperbaiki dan harus membeli yang baru. Untunglah saya masih bisa mengakses internet di kantor.

Jika sehari tanpa internet?! Ehm, apa rasanya ya...Yang pasti jika sehari tanpa internet terjadi secara global di seluruh dunia, akan kacau balau. Bagaimana tidak, semua transaksi perbankan terkoneksi dengan internet, sistem suplay chain manajement di perusahaan-perusahaan terhubung dengan internet agar terkoneksi dengan departemen terkait atau perusahaan cabang di luar negeri, sistem pembayaran beragam tagihan rumah tangga seperti air, listrik, telpon  dan leasing. Ribuan pesan dan transaksi jual beli online terhenti. Jadwal penerbangan terhenti. Terbayang kan berapa kerugian yang bisa terjadi? Atau malah mungkin terjadi chaos.

Dan internet tidak hanya penting untuk urusan pekerjaan formal di kantor-kantor, pelaku online shop, para pelajar atau mahasiswa.

Kamis, 24 April 2014

Hari Kartini

Baru sempat posting....

Hari Kartini jatuh pada tgl 21 April tapi penyelenggaraan di sekolah Azka diadakan tanggal 17 April karena hari senin gurunya rapat.
Azka merengek ingin pake baju daerah Bali.
“Memang tahu baju Bali seperti apa?”
“Tahu, yang pake rambut panjang segini,”
“Tahu dari mana?”
“Di sekolah tadi aku lihat di buku.”

Kebetulan di dalam perumahan ada salon yang selain menyewakan pakaian pengantin juga beragam baju daerah untuk anak-anak. Sayang  pada tanggal 17 pemilik salon sekaligus tukang rias ada agenda menghias di tempat lain jadi tidak bisa mendandani Azka. Kalau mama yang pasang baju Bali dengan kainnya itu pasti berantakan, belum makein rambut palsunya. Jadi dengan alasan simpel dipilihkan baju kebaya.

Baju di pinjam tiga hari sebelum hari H dan setiap pulang sekolah, Azka memakai kebaya lengkap dengan selopnya untuk main kesana-kemari. Hal baru untuknya.

Saat hari H sedikit  nyesal karena memilih kebaya, kesannya terlalu biasa untuk sebuah kenang-kenangan kartinian masa kecil.


Bukan apa-apa, berpakaian seperti ini kan gak setiap waktu dan tahun depan belum tentu di sekolahnya yang baru mengadakan acara seperti ini. Azka juga nampak sedikit cemburu (saya lihat dari tatapannya dan sesekali berkata, aku ingin pake baju seperti itu) dengan pakaian teman-temannya yang rata-rata blink-blink. Maafkan mama ya sayang...


Rabu, 23 April 2014

Mengenalkan Keanekaragaman Budaya Pada si Kecil Melalui TMII

Kunjungan ke Museum Indonesia di TMII

foto dokumentasi pribadi
Beberapa waktu lalu kami mengajak di kecil Azka Zahra (5y6m) ke Museum Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Awalnya sempat ragu mengajak Azka ke sana. Apa tidak akan membuatnya bosan karena apa yang dilihatnya di sana mungkin tidak menarik untuknya? Apa tidak akan membuatnya pusing karena apa yang dilihatnya tidak ia pahami maksudnya? Tapi ternyata kami salah. Azka antusias pada setiap artepak dan manikem yang dilihatnya. Terlebih ketika kami  sampai di bagian kekhasan daerah yang dimiliki saya dan Abinya (panggilan Azka untuk papanya). Ini lho baju padang, ini lho baju khas sunda, ini lho alat musik angklung, gamelan dan seterusnya. 

Yap, saat menginjak usia batita dan Azka mulai memahami apa yang didengarnya, dilihat dan diucapkannya, Azka mulai  sadar jika mama dan Abinya ‘beda’. Ia terheran-heran saat di Bandung (berlibur atau mudik) saya bicara dalam bahasa sunda dengan seluruh kerabat dan anggota keluarga di sana. Saat di Jakarta, Azka mengernyitkan dahi dengan bahasa dan logat bicara Abi dan kerabat di sana.

Sabtu, 19 April 2014

Pertanyaan-pertanyaan Khalif

Bulan ini usia Khalif 2 tahun 5 bulan dan ini adalah kalimat atau pertanyaan yang sering di ucapkannya akhir – akhir ini yang membuat saya tertawa karena kadang cara bicaranya yang sok serius dan diucapkan setengah berbisik, seolah sebuah rahasia.  plus kagum dengan pilihan katanya yang cukup runut untuk anak seusianya. 

“Ma, pipis warnanya apa?” tanya Khalifah setiap sehabis pipis.
“Ma, yang bodoh itu kancil karena dia nakal suka mencuri pisang.” Efek nonton film kartun yang di download dari youtube.

“Ma, di pengajian banyak anak-anak. lari di kejar. Jadi penjahat.” Setiap rabu dan jumat Khalifah diajak mengantar dan menunggui kaka ngaji di mesjid perumahan.

Hujan gerimis saat hendak berangkat ngaji, Khalifah bertanya,”Ma, hujan itu dari mana?”

Di lain waktu tiba-tiba Khalifah bertanya,”Ma, kesukaan mama apa?”


Kamis, 10 April 2014

Nonton Berita

“Ma, aku nonton ya,” kata Azka dengan nada hati-hati. Tahu mamanya suka nyolot kalau dimintai ijin nonton.
“Baru juga jam 4, belum ada film kartun,” Mama melirik jam di  dinding. “Masih berita.”
“Aku nyalain aja ya tv nya buat mama nonton. Kasian mama gak pernah nonton,” Azka cengengesan.
“Ga apa-apa mama gak nonton.”

“Tapi kan mama suka nonton berita.” Dalam hati mama tertawa. Heuheu ini yang nawarin nonton kok maksa. 

Aku mau dapat piala

Setiap hari rabu Azka les nari di sekolahnya. Bukan tari daerah tertentu dengan gerakan yang biasanya  sulit, tapi tari hasil kreasi gurunya. Tapi jika dilihat dari gerakan dan musik pengiringnya yang lembut , dugaan saya diadopsi dari gerakan tari daerah hanya yang diambil gerakan yang mudah dan gampang diingat anak.

Akhir bulan maret, Azka dan beberapa temannya terpilih mewakili sekolahnya di lomba tari se taman kanak-kanak Ciputat, yang diadakan di Perguruan Islam Asyukro .  Karena sekolah Azka datang pagi untuk melakukan daftar ulang dan persiapan (ganti baju dan dandan), jadilah sekolah Azka naik ke panggung urutan ke 3, dari 60 an peserta.

Niat kami tak menunggu acara sampai selesai tentunya, setelah  Azka tampil ya pulang. Tapi tanpa di duga Azka gak mau pulang. Ia  ingin menunggu sampai dapat piala.
“Iya, tapi aku ingin piala!”



Berbagai rayuan dan hadiah ini itu agar pulang Azka tidak bergeming malah nangis. ‘Keukeuh, pengen pulang dapat piala! Duh, kalau gak juara gimana?

Saya jadi teringat obrolan satu hari sebelumnya. Azka menemui saya dan berkata,”Ma, doain aku ya besok menang. Aku ingin dapat piala soalnya.” Saya sempat melongo beberapa detik sebelum mengiakan permintaan Azka. Ga nyangka Azka seserius itu menanggapi lomba Tari. Mama sendiri gak pasang target apa-apa, Azka terpilih saja sudah ‘sesuatu’.

Akhirnya kami meluruskan permintaan Azka menunggu. Bete sudah barang tentu. Untunglah sekitar jam setengah dua belas, kami berhasil merayu Azka untuk pulang, sementara di panggung masih ada peserta yang menari (katanya kemungkinan acara dan pengumuman pemenang jam 3 sore). Rayuannya mainan balok (karena di sana ada stand yang menjual mainan edukatif).

Hari seninnya saya mendapat kabar baik, katanya sekolah Azka meraih juara ke 3, satu dari 4 katagori penilaian yang dilombakan.

Azka masih keukeuh pengen piala di bawa pulang ke rumah. Untunglah pihak sekolah bersedia menggandakan (tapi yang mau bayar hehe) piala jika ada peserta tari yang ingin memiliki. 
Sampai ini ditulis, piala kw nya belum selesai xixixi. Btw, selamat ya Azka.